Thursday 4 June 2009

API KECIL JADI KAWAN, BESAR JADI LAWAN..

Bangkai kapal Mandiri Nusantara yang terbakar di laut lepas sudah berhasil dibawa ke Pelabuhan Gresik, Kamis (4/6/2009). Namun, hingga saat ini asap masih mengepul dari dalam badan kapal, peristiwa lainnya tujuh orang yang hendak mudik Lebaran tewas dalam kecelakaan terbakarnya Kapal Motor Usaha Baru di Ambon, Maluku, Jumat 26 September 2008, korban meninggal karena tidak bisa berenang sehingga terjebak di dalam kapal yang terus tenggelam, diduga kapal terbakar akibat hubungan pendek arus listrik di ruang mesin. Medio Juli 2008 kita diingatkan pula terjadinya kebakaran kapal LCT Anugerah Perdana I bermuatan 800 ton BBM dari Ambon ke Timika, di Pomako Distrik Mimika Timur, kapal tersebut terbakar ketika sedang menyuplai BBM ke depot Pertamina dan diduga api berasal dari mesin penyedot BBM meledak saat sedang dilakukan pengurasan,sehingga percikan api dengan cepat membakar bagian kapal dan mengakibatkan tewasnya dua warga.
Dari semua malapetaka yang dapat terjadi di laut dan pelabuhan, bahaya kebakaran selalu menjadi urutan teratas, kebakaran dikapal sangat cepat menghancurkan dan rentan terhadap hilangnya nyawa anak buah kapal, penumpang, barang maupun lingkungan, tidak terhitung juga kerugian bagi pemilik kapal, operator, pemilik barang, fasilitas pelabuhan dan lainnya
Beberapa penyebab terjadinya kebakaran dikapal, dimulai dari faktor ketidak-laikan kapal itu sendiri dimana keadaan kapal untuk berlayar di perairan tertentu diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan antara lain keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal (Pasal 1 ayat 33 Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran) apabila kita juga menilik dari salah satu saja faktor kelaik-lautan kapal, maka pemuatan di kapal merupakan faktor yang menonjol sebagai penyebab dalam berbagai kejadian kebakaran dikapal.
Adapun persyaratan muatan yang diperbolehkan untuk diangkut oleh kapal telah diatur sedemikian rupa, juga terhadap tata cara pemuatan dikapal itu sendiri. Untuk barang muatan yang berpotensi dan berdampak terhadap keselamatan dikapal, diklasifikasikan sebagai “barang berbahaya” yang diatur Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Pasal 44) yaitu “ Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan juga pada Pasal 45 ayat 2 disebutkan “Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berbentuk bahan cair, bahan padat dan bahan gas “.dimana pada pasal Pasal 45 ayat 3 Barang Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bahan/barang peledak (explosives);
b. gas-gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under pressure);
c. cairan mudah menyala/terbakar (flammable liquids);
d. bahan/barang padat mudah menyala/terbakar (flammable solids),
e. bahan/barang pengoksidasi (oxidizing substances);
f. bahan/barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);
g. bahan/barang radioaktif (radioactive material);
h. bahan/barang perusak (corrosive substances); dan
i. berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).
Sebagai peraturan pelaksananya diatur dalam KM 17 Tahun 2000 Tentang “Pedoman Penangananan Bahan/Barang Berbahaya Dalam Kegiatan Pelayaran di Indonesia” dimana dalam rangka menjamin keselamatan dalam penanganan bahan/barang berbahaya dalam kegiatan pelayaran di Indonesia, perlu memberlakukan ketentuan mengenai International Maritime Dangerous (IMDG) Code yang merupakan aturan pelaksanaan dari Konvensi on Safety of Life at Sea (SOLAS) dan Convention on Prevention of Marine Pollution from Ships (MARPOL) yang telah diratifikasi masing-masing oleh Keppres Nomor 65 Tahun 1980 dan Keppres Nomor 46 Tahun 1986
Sejatinya ketentuan ini memberlakukan IMDG Code beserta supplement sebagai pedoman penanganan bahan/barang berbahaya dalam kegiatan pelayaran yang terdiri dari Volume I (Part1,2 & 4-7) yang berisi tentang ketentuan umum,definisi, dan Training; Klasifikasi; Ketentuan tangki dan Pengemasan; Prosedur Pengiriman; Konstruksi dan uji kemasan, IBCs, kemasan besar, tangki portabel dan kendaraan tangki darat; Pelaksanaan Pengangkutan. Volume II berisi Daftar Barang Berbahaya (format tabel); Pengecualian Jumlah Terbatas; Indeks; Appendiks/Lampiran, dan Supplement yang berisi teks yang berkaitan dengan IMDG Code antara lain: EMS Guide; Pedoman PPPK, Prosedur Pelaporan; Pengemasan unit angkut kargo; Penggunaan pestisida yang aman; INF Code (BBM Nuklir yang tidak ter-radiasi); Appendiks/Lampiran.
Untuk penanggulangan kebakaran dikapal juga diatur didalam SOLAS 1974 (Safety of Life at Sea) yaitu penyelamatan jiwa di laut dalam Chapter II-2 (Construction-Fire Protection, Fire Detection and Fire Extinction) dibahas tentang usaha-usaha untuk mencegah kebakaran dengan memperhatikan tentang konstruksi pencegah kebakaran, alat deteksi kebakaran dan pemadaman kebakaran kapal itu sendiri. Adapun peraturan yang melindungi bahaya kebakaran di atas kapal dimulai dengan jenis material yang digunakan, konstruksi, sampai bagaimana mendeteksi terjadinya kebakaran dan sarana memadamkannya yang juga dimuat dalam Chapter II-2 SOLAS Convention
Adapun prinsip-prinsip dasar perlindungan terhadap bahaya kebakaran dalam SOLAS Convention Chapter II-2 adalah pembagian ruangan kapal dalam zona vertical dengan struktur pembatas beberapa bagian dengan konstruksi penahan panas dan api, pemisahan ruangan akomodasi dengan konstruksi tahan panas dan api dari ruangan kapal lainnya, membagi penggunaan material yang gampan terbakar (dengan bahan-bahan non – combustable), memasang alat mendeteksi kebakaran di lokasi yang diperkirakan akan timbul kebakaran, melokalisir dan memadamkan kebakaran di lokasi terbakar, melindungi lokasi dan jalan ke tempat menyelematkan diri dan tempat alat-alat untuk melakukan pemadamam kebakaran, menyediakan alat-alat pemadam kebakaran di tempat-tempat yang ditentukan dan siap untuk digunakan, mengurangi sekecil mungkin dan menghindari kemungkinan terjadinya kebakaran gas muatan.
Bagimana untuk jenis pencegah pemadam kebakaran yang digunakan diatas kapal tergantung dimana alat-alat tersebut digunakan , dalam Regulation 4 dipersyaratkan untuk memilih dan memasang pompa pemadam kebakaran termasuk kelengkapannya seperti pipa penyalur, hydrants dan selang pemadam kebakaran diatas kapal (every ships shall be provideed with fire pumps, fire mains, hydrants and hoses complying as applicable with the requirment of this regulation) bahwa ditegaskan dalam peraturan tersebut bahwa semua kapal harus dilengkapi dengan pompa pemadam kebakaran dengan peralatannya, kapasitas tekanan pompa dan penempatannya diatas kapal harus dapat menjangkau dan memadamkan secara efektif kebakaran yang terjadi dimanapun diatas kapal. pompa saniter, pompa bilga dan pompa air balas dapat digunakanjuga sebagai pompa pemadam kebakaran, asal tidak digunakan juga sebagai pompa transfer minyak atau bahan bakar.
Juga pada Regulation 5, mengatur pemasangan dan pemakaian bahan gas untuk memadamkan kebakaran (fixed gas extingushing system) yang disalurkan ke tempat-tempat yang berpotensi timbul kebakaran, seperti ruangan muatan, kamar mesin dan kamar pompa, karena gas yang digunakan beracun maka tidak boleh digunakan di rungan akomodasi adapun gas yang digunakan antara lain;
1. Gas CO2 (carbon dioxide sytems ) digunakan untuk kamar mesin, mesin kamar pompa dan ruangan muatan seperti muatan minyak kelemahannya adalah tidak dapat digunakan dalam kondisi terdapat manusia di sekitarnya
2. Gas halogen (halongenated hydrocarbon sytems) hanya boleh digunakan untuk ruangan muatan khusus kenderaan tanpa muatan lain, kamar mesin dan kamar pompa

Sebagai bahan pertimbangan dapat ditemuakan alternatif media pemadam api portable maupun total floading system yang aman bagi manusia (anti racun), tidak menghantarkan listrik, mampu memadamkan api hanya dalam waktu singkat (kurang dari 10 detik), tidak ada penyalaan ulang dan ramah lingkungan (AF 11 E, AF 31 dan AF 21)
Regulation 6, mengatur mengenai penyediaan dan penggunaan tabung pemadam kebakaran portable (dapat dipindah-pindahkan) yang berisi campuran cairan yang dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran diatas kapal. Adapun kapasitas tabung berisi cairan paling kurang 9 liter dan paling banyak 13,5 liter, dan harus dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran dengan cepat dan efektif dan tidak boleh beracun, alat-alat tersebut harus ditempatkan dilokasi yang diperkirakan akan timbul kebakaran dan harus diperiksa oleh yang berwajib secara periodik
Regulation 7, mengatur pemadam kebakaran di kamar mesin, dimana merupakan tempat yang sangat rawan terhadap kebakaran oleh sebab itu memerlukan perlindungan khusus terhadap bahaya kebakaran
Dalam beberapa kasus di pelabuhan untuk memudahkan kapal mendapat bantuan dari darat ketika terbakar,maka untuk kapal dengan ukuran 500 GT atau lebih harus dilengkapi dengan minimal 1 (satu) ” International shore conection” yang dapat digunakan dari kedua sisi kapal (Regulation 19) dan selanjutnya untuk semua kapal harus dilengkapi dan diperagakan secara permanen gambar rencana umum (general arangement plans) yang memuat ”fire control plan” untuk dapat digunakan awak kapal sebagai petunjuk melihat dengan jelas semua control station disetiap dek dan ruangan
Dengan bahasa yang sederhana diharapkan agar semua pihak dalam pengoperasian kapal, hendaknya dapat mengantisipasi potensi terjadinya kebakaran di kapal dengan menyiapkan alat-alat pemadam kebakaran yang memenuhi standart keselamatan jiwa maupun peralatan di kapal agar dapat menanggulangi kebakaran yang mungkin dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa dapat kita hindari.
diolah dari berbagai sumber

Tuesday 2 June 2009

Program percepatan kinerja PT.Pelabuhan Indonesia (Persero) sebuah harapan dan tantangan


Dalam terjemahan bebas Wikipedia, bahwa Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera/sungai , atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. crane dan gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan. Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang.


Kata pelabuhan laut digunakan untuk pelabuhan yang menangani kapal-kapal laut. Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang digunakan untuk berlabuhnya kapal-kapal penangkap ikan serta menjadi tempat distribusi maupun pasar ikan., dan klasifikasi pelabuhan perikanan adalah : Pelabuhan Perikanan Pantai, Pelabuhan Perikanan Nusantara, dan Pelabuhan Perikanan Samudera.


Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persilangan rute perdagangan dunia. Sehingga peran pelabuhan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas sosial dan perdagangan di wilayah ini sangat besar. Oleh karenanya pelabuhan menjadi faktor penting bagi pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian negara.


Sejak tahun 1960 pengelolaan pelabuhan di Indonesia dilaksanakan oleh pemerintah melalui Perusahaan Negara (PN) I sampai dengan VIII. Kemudian dalam perkembangannya, pada tahun 1964 aspek operasional Pelabuhan dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah yang disebut Port Authority , sedangkan aspek komersial tetap dibawah pengelolaan PN Pelabuhan I sampai dengan VIII.


Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1969, pengelolaan pelabuhan umum dilakukan oleh Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP). Pada tahun 1983, BPP diubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pelabuhan yang hanya mengelola pelabuhan umum yang diusahakan, sedangkan pengelolaan pelabuhan umum yang tidak diusahakan dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. PERUM Pelabuhan dibagi menjadi 4 wilayah operasi yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1983. Status PERUM ini kemudian dirubah lagi menjadi PT (Persero) Pelabuhan Indonesia/Pelindo I sampai IV pada tahun 1992 sampai saat ini.


Dalam tulisan ini penulis ingin menyoroti program perubahan baru manajemen PT.Pelindo (Persero) menjadi holding company, dalam program 100 hari yang akan dicanangkan, dimana terlihat keinginan PT.Pelindo (Persero) merubah dari paradigma lama sebagai badan usaha negara yang mencari laba (profit center state firm) kepada paradigma baru yang berorientasi kepada pelayanan public (become a public utility), usaha ini bak gayung bersambut dengan adanya kriteria pencapaian (profit cretieria) yang coba diturun oleh Kementrian BUMN dari 50 % menjadi hanya 15 % yang diasumsikan bukan hanya dapat meningkatkan kompetensi SDM juga diharapkan sektor pelayanan dan fasilitas pelabuhan.


Ditengah banyaknya masalah yang dihadapi PT. Pelabuhan Indonesia (PELINDO) I, II,III dan IV diantaranya adalah tingginya biaya di pelabuhan, demurrage, pelayanan yang tidak prima, fasilitas pelabuhan yang tidak layak dan krisis SDM membuat daya saing di dalam memenangkan pasar berjalan lambat, dimana kenyataan nya pelabuhan di Indonesia hanya sebagai pelabuhan pengumpan (feeder port) bagi pelabuhan Singapura, menyiratkan bahwa program 100 hari yang canangkan oleh PT.Pelindo II sangat diharapkan oleh pengguna jasa pelabuhan secara langsung maupun tidak langsung antara lain mengevaluasi permasalahan yang ada dengan cara menginvinterisasinya kesemua lini dan hanya menggunakan SDM yang siap pakai untuk meningkatkan target pencapaian bukan saja untuk sekedar laba bagi perusahaan tetapi lebih kepada produktifitas pelayanan bagi pengguna jasa.

Menurut hemat penulis usaha yang akan dilakukan didalam tubuh PT.Pelindo (Persero) harus dapat dilakukan dengan melakukan beberapa study terlebih dahulu untuk dapat menekan faktor-faktor penghambat kinerja di pelabuhan, bahkan keputusan top management yang tidak populer pun agar jangan ragu untuk diambil seperti usaha pemberian insentif atas tarif, perubahan terhadap pelayanan secara menyeluruh, mempercepat sistem bongkar muat yang nantinya diharapkan dapat diminati oleh perusahaan pelayaran asing untuk menjadikan pelabuhan di Indonesia (Tanjung Priok,Medan, Surabaya, Makasar) menjadi pelabuhan tujuan langsung (direct call ports)


Ditengah situasi krisis ekonomi belakangan ini, dan adanya pelarangan terhadap praktek monopoli diharapkan bahwa mind set PT.Pelindo (Persero) dengan manajemen yang baru, dapat memposisikan dirinya sesuai dengan jiwa dan ruh dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran sebagai operator di pelabuhan kiranya dapat segera terwujud, agar untuk dapat menyumbangkan sesuatu bagi pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh, dimana jika manajemen pelabuhan efektif maka ekonomi pun akan tumbuh, jika tidak ...maka tidak mungkin ekonomi pun dapat mandeg.


diolah dari berbagai sumber...



Saturday 30 May 2009

PENCEGAHAN BAHAYA KEBAKARAN DI KAPAL

Prosedur pemadaman dikapal pada umumnya sama dengan yang dilakukan di tempat-tempat lain, dikarenakan konstruksi kapal yang memang khusus maka usaha pemadaman kebakaran dikapal lebih sulit dan kompleks.
Adanya sifat-sifat khusus dalam setiap peristiwa kebakaran di kapal adalah sebagai berikut :
  1. Perambatan panas berjalan lebih cepat, dikarenakan bagian-bagian dalam konstruksi kapal yang sebagian besar terbuat dari besi atau baja maka perambatan panas akan bergerak kesegala arah dan berjalan cepat yang mengakibatkan titik nyala bahan-bahan yang mudah terbakar akan cepat tercapai dan cepat menjalar ke ruangan-ruangan lain, sehingga pendinginan ruangan tersebut menjadi hal penting untuk dilakukan semaksimal mungkin ;
  2. Sumber api sulit ditemukan karena tertutup asap tebal, bila terlambat diketahui terjadinya kebakaran maka ruangan-ruangan telah dupenuhi asap yang tebal, dan untuk itu mengeluarkan asap adalah menjadi prioritas sebelum memadamkan api dengan cara mengaktifkan blower atau pompa-pompa udara/pompa penghisap ;
  3. Penyemprotan air tidak boleh melebihi batas karena dapat mengganggu stabilitas kapal ;
  4. Ruangan gerak terbatas, dikarenakan konstruksi bangunan kapal yang khusus maka petugas pemadam tidak dapat bertindak dengan leluasa, oleh karena itu maka abk kapal yang telah mendapatkan peran kebakaran dikapal merupakan team pemadam kebakaran yang lebih efektif dan optimal ;
  5. Korban yang terancam bahaya kebakaran tidak dapat berlindung selain dikapal terutama pada kebakaran yang terjadi ditengah laut, cuaca/ombak cukup besar, hal ini berbeda dengan peristiwa kebakaran di darat.

Tindakan keamanan di kamar mesin :

  1. Kamar mesin harus selalu dijaga kebersihannya, minyak-minyak yang menetes dibawah peralatan segera dibersihkan dan dikeringkan, lap-lap kotor bercampur minyak jangan diletakkan sembarangan, got-got harus sering dikuras ;
  2. Lakukan perawatan mesin/listrik dengan sebaik-baiknya, jangan melakukan perbaikan/perubahan alat yang mengandung resiko dan alat-alat yang telah habis masa berlakunya agar cepat diganti ;
  3. Alat pemadam api yang sesuai dengan peruntukannya pada mesin/listrik harus tersedia, dan harap diperhatikan untuk mengantikan Co2 system di kamar mesin yang bersifat racun dan dapat dicari media pengganti lainnya yang lebih aman dan abk harus dapat menggunakan alat pemadam yang tersedia dikapal dan sebaiknya dilakukan drill/exercises secara berkala ;
  4. Larangan "Dilarang Merokok" agar dipatuhi oleh seluruh abk ;
  5. Agar selalu menjaga ventilasi kamar mesin berfungsi dengan baik ;
  6. Bila terdapat kejanggalan/kelainan yang membahayakan jangan ragu untuk menyetop mesin, tetapi bila masih memungkinkan agar dilaporkan terlebih dahulu ke anjungan ;
  7. Pengecekan kabel-kabel listrik untuk menghindari hubungan arus pendek ;
  8. Jangan membiasakan menempatkan kain lap/majun diatas peralatan ;
  9. Jangan menyimpan benda atau bahan yang mudah terbakar dikamar mesin, kecuali minyak pelumas.

Monday 12 January 2009

PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS)
DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT DALAM
PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG No.17 TAHUN 2008
TENTANG PELAYARAN
Oleh :
Hot Marojahan Hutapea, SH *

I. PENDAHULUAN

1. Berdasarkan data luas wilayah Indonesia mencapai 5,9 juta Km² dengan rincian luas perairan nasional 2,8 juta Km², luas laut teritiorial 0,4 Km², 2,7 Km² luas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE) dan klaim 0,8 jta Km² luas wilayah landasan kontinen Republik Indonesia (LKRI) dengan jumlah pulau sekitar 17.506 pulau besar dan kecil (setelah dua pulau Sipadan dan Ligitan diputuskan oleh Mahkamah Internasional tahun 2002 menjadi milik Malaysia) Panjang Pantai Seluruhnya ± 81.000 km. Wilayah perairan (kedaulatan wilayah) yang dapat dimanfaatkan diperkirakan mencapai 6,7 juta Km terdiri atas 3,1 juta Km perairan Indonesia dan 3,6 juta km persegi perairan ZEE dan LKRI.
2. Pelayaran sebagai salah satu moda transportasi diselenggarakan dengan tujuan untukmemperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelayaran nasional, dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorongpencapaian tujuan pembangunan nasional, memantapkan perwujudan wawasan nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional
3. Penyidik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 6 menyatakan bahwa selain penyidik umum yaitu Polisi Negara Republik Indonesia dalam pasal 2 menyatakan bahwa Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh Undang-undang (PPNS)
II. Penegakan Tindak Pidana Pelayaran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
1. Konsep keamanan (Security) yang ada selama ini telah berkembang sejak pasca perang dingin dan berlanjut pada era globalisasi dewasa ini. Konsep ini telah diperluas tidak hanya terfokus pada hal-hal yang bersifat Militeristik, tetapi telah berkembang mengarah pada berbagai aspek seperti perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, perluasan perdagangan dan investasi, pemberantasan kejahatan internasional, atau perdagangan Barang terlarang. Dalam dunia kemaritiman, keamanan maritim juga telah meluas tidak hanya konsep pertahanan laut terhadap ancaman militer dari negara lain tetapi juga termasuk pertahanan terhadap ancaman non militer antara lain perlindungan terhadap kelestarian alam, jalur perdagangan, pemberantasan aksi ilegal di laut, dan lain. Sebaliknya, karakter maritim telah menjadi faktor yang memberikan pengaruh kuat pada aspek keamanan, strategi dan kerjasama maritim regional. Sebagai konsekuensinya, keamanan dalam dunia maritim, secara umum menjadi tanggung-jawab dari semua negara untuk menjaganya dari segala bentuk ancaman. Semakin luas wilayah perairan laut suatu negara, semakin besar pula tugas dan tanggung-jawab pemerintah dari negara tersebut.Tanggung jawab ini bukan hanya secara nasional, tetapi juga secara internasional.
2. Penegakan Hukum di bidang pelayaran mempunyai konsepsi yang pada akhirnya akan tercipta faktor-faktor Kelaik-lautan kapal dimana terdapat kondisi keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan dan kesejahteraan awak kapal, serta penumpang dan status hukum kapal untuk berlayar diperairan tertentu, sehingga peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai Undang-undang menjadi sangat penting seperti yang diamanatkan dalam kewenangan PPNS. Pada Pasal 282 Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Undang-undang No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran disebutkan (pasal 1) yaitu selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dan (ps 2) dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia.
3. Pasal 283 ayat 1 menyebutkan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran dan ayat 2 menyebutkan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang berwenang :
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
b. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, kapal atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait dengan tindak pidana pelayaran;
h. mengambil sidik jari;
i. menggeledah kapal, tempat dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
j. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
k. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang pelayaran;
m. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
n. mengadakan penghentian penyidikan; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
4. Dalam prakteknya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditjen Hubla juga berperan dalam penegakkan hukum di laut dalam kaitannya dalam tindak pidana pelayaran dan landasan hukum dalam penegakan hukum di laut, dimana landasan hukum nya adalah hukum nasional dan hukum internasional. Hukum nasional terdiri dari produk hukum peninggalan jaman Pemerintah Hindia Belanda dan hukum laut produk nasional. Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 bahwa peraturan-peraturan produk Hindia Belanda masih berlaku sepanjang belum dibuat penggantinya yang baru. Satu-satunya produk Pemerintah Hindia Belanda yang masih berlaku sampai sekarang ini adalah Ordonansi Laut Teritorial dan lingkungan Maritim Tahun 1939 (TZMKO) pada Pasal 13 Ordonansi tersebut menyatakan penyelenggaraan penegakan hukum di laut pada dasarnya dilakukan di bawah satu instansi yairu Angkatan Laut di mana KSAL adalah sebagai penanggung jawabnya. Dalam hal ini KSAL membawahi Perwira AL, Pandu-pandu laut, syahbandar, dan pegawai-pegawai yang semacam itu serta orang-orang yang ditunjuk untuk kepentingan tersebut. Sedangkan landasan hukum yang merupakan produk nasional yang berkaitan dengan bidang pelayaran yaitu :
a) Undang No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
c) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982)
d) Peraturan Bandar Tahun 1925
e) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
f) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
g) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Kapal Asing dalam perairan Indonesia.
h) Pengumuman Pemerintah RI 17 Pebruari 1969 tentang Landasan Kontinen Indonesia.
i) Surat Keputusan Men/Pangal 23 September 1961 tentang Penunjukan Pejabat-pejabat yang diberi wewenang untuk mengadakan penyidikan terhadap kejahatan di laut.
j) Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 056/D.A/7/1969 tentang Penyelesaian Perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.
k) Surat Keputusan Pangal No. 5810.3 Tahun 1969 tentang Penunjukan pejabat-pejabat dilingkungan ALRI untuk melaksanakan wewenang Pangal dalam menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.
l) Kep. Menhankam/Pangab. No. Inst/B/92/1969 tentang Pengamanan Pelabuhan di wilayah RI.
m) Keppres RI No. 16 Tahun 1971 tentang wewenang pemberian ijin berlayar bagi segala kegiatan kerderaan asing dalam wilayah Perairan Indonesia.
n) Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/17/IV/75 tentang Penetapan Alur Pelayaran Khusus bagi kapal-kapal penangkap ikan asing.
o) Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep/099/DA/12/71 tentang pendelegasian wewenang penyelesaian perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.
p) Instruksi Jaksa Agung RI No. Inst.006/DA/12/72 tentang jumlah dan cara-cara penenetapan serta Penyetoran Densa Damai.
q) Surat Keputusan Bersama antara Menhankam Pangab, Menhub, Menkeh, Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/75, SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS.B/72/1 dan Kep/085/JA/12/72 tentang pembentukan Barkorkamla.
r) Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2005 Tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla)
III. Praktek Penegakan Tindak Pidana Pelayaran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Praktek Penyelenggaraan Penegakan Hukum di Laut oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditjen Hubla mempunyai sasaran terciptanya ketertiban umum dan ketertiban hukum dan kepastian hukum di laut demi menjamin kepentingan nasional Indonesia.
A. Dalam prakteknya kegiatan-kegiatan penegakan hukum di laut dapat berupa kegiatan yaitu kegiatan-kegiatan yang langsung menanggulangi/mengenai semua tindak pidana pelayaran (tindak pidana khusus), sebagai contoh :
1) Pemeliharaan Rambu-rambu, Alat Navigasi, Pelayaran Dan Pemeliharaan Mercu Suar, Ordonansi kapal-kapal 1935 terdapat pengaturan tentang keselamatan pelayaran, antara lain tentang isyarat-isyarat, alarm darurat dan kewajiban memberi bantuan dan hak meminta bantuan serta berita-berita tentang bahaya. Kemudian Konvensi (COLREG) 1960 (Internasional Regulation for Preventing Collisions at Sea), yang mengatur hal-hal mengenai pengamatan, kecepatan yang aman, bahaya tubrukan, tindakan-tindakan untuk menghindari tubrukan, sistem mempertahankan haluan dan kecepatan serta tanggung jawab antara kapal satu sama lain,
2) Pemeriksaan Laik Laut, Ketentuan yang mengatur keselamatan kapal terdapat dalam Ordonansi 1935, Stb. 1935 antara lain memuat ketentuan-ketentuan umum dan khusus tentang badan kapal, perlengkapan, sertifikat penumpang, sertifikat keselamatan radio, perangkat telegrap radio dan sertifikat alat-alat penolong dan peralatan lainnya serta keselamatan barang. Berdasarkan Keppres RI No. 203 Tahun 1966 Konvensi SOLAS 1960 (Internasional Covention for the Safety of Life at Sea) diratifikasikan sebagai ketentuan yang berlaku di Indonesia yang memuat antara lain : pemeriksaan sertifikat-sertifikat, kecelakaan, instalasi-instalasi mesin dan listrik, pencegahan kebakaran di kapal dan di kapal penumpang dan kapal barang, keselamatan navigasi, pengangkutan barang-barang berbahaya dan kapal-kapal nuklir dan serta sertifikatnya.
3) Pemeriksaan Kecelakaan Kapal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.
B. Melakukan koordinasi-koordinasi berupa kegiatan-kegiatan penyelesaian akhir yang bersifat yuridis teknis kepada Departemen/instansi yang berwenang sesuai dengan kewenangan masing-masing, sebagi contoh :
1) Pelanggaran Wilayah. Instansi pertama yang berwenang dan betanggung jawab melakukan pengamanan wilayah laut, yang semula berdasar UU No. 2 Drt 1949 berada di tangan KASAL, kemudian berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 1974 beralih ketangan Menhankam/Pangab. Berdasarkan Skep/B/371/V/1972 Menhankam Pangab, telah menunjuk pejabat-pejabat untuk melaksanakan wewenang Menhankam/Pangab dalam menyelesaikan perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia. Selanjutnya berdasarkan keputusan bersama Menhankam/Pangab, Menhub, Menkeu dan Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/1972; SK.901/M;Kep.779/MK/XII/12/1972, Kep-085/JA/12/1972 tanggal 19 Desember 1972 dibentuk Badan Kordinasi Keamanan di laut (Bakorkamla) dan Komando Pelaksanaan Bersama Keamanan di Laut, sebagai usaha peningkatan keamanan di laut,
2) Pemberatasan Pembajakan Ketentuan yang mengatur pemberantasan pembajakan yang terjadi di laut dalam Ordonansi 1939 pasal 14 menyebutkan beberapa pasal KUHP yang mengatur mengenai kejahatan pembajakan yang terjadi di laut, yaitu pasal 438 s/d 451. Dalam pasal-pasal ini membedakan empat macam jenis pembajakan menurut tempat di mana kejahatan terjadi, yaitu pembajakan di laut, pembajakan ditepi laut, pembajakan di tepi pantai dan pembajakan di sungai. Ordonansi ini masih dalam pengertian hukum laut tradisional, oleh karena itu pengaturan dalam pasal-pasal tersebut belum dapat menampung permasalahan hukum di bidang pemberantasan penyeludupan di perairan Indonesia dengan konsepsi Nusantara menurut UU No. 4/Prp/1960. Selain itu juga ditemukan dalam UU No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958, yaitu pasal 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22, yang mengatur tentang pemberantasan pembajakan di laut lepas atau di tempat lain di luar kekuasaan hukum suatu Negara.
3) Pemberantasan Penjualan Budak Belian Dan Wanita, Ketentuan yang mengatur bidang pemberantasan penjualan budak belian di dapat dalam pasal 321, 325, 326 serta 327 KUHP. Selain itu dijumpai dalam UU No. 19 Tahun 1961, khususnya dalam Konvensi tentang Laut Lepas pasal 13 dan 22 ayat (1) yang menetapkan tiap negara akan menyetujui peraturan yang efektif untuk mencegah serta menghukum pengangkutan budak-budak.
4) Pemberantasan Penyelundupan, Ketentuan yang mengatur pemberantasan penyeludupan dalam Ordonansi 1939 dan Rechten Ordonantie (RO) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan memberikan wewenang polisionil kepada angkatan laut dan bea cukai untuk tugas-tugas pemberantasan penyeludupan penangkapan dan pemeriksaan di kapal. Kejahatan demikian dapat di hukum atau diajurkan untuk berdamai apabila perbuatan itu hanya merupakan pelanggaran saja. Berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep. 099/DA/12/1971, Jaksa Agung mendelegasikan wewenang kepada Menhankam/Pangab untuk menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana di perairan Indonesia di luar sidang pengadilan dengan syarat pembayaran sejumlah uang (denda damai) kepada negara. Kemudian dengan instruksi Menhankam/Pangab Nomor T/59/1975 untuk sementara mencabut Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep-099/DA/12/1971 tersebut di atas, bahwa semua penyelesaian perkara pelanggaran di perairan diserahkan kepada Kejaksaan untuk selanjutnya diajukan di muka sidang Pengadilan. Jadi dengan Surat Keputusan Menhankam tersebut, dalam setiap penyeludupan baik merupakan suatu kejahatan maupun hanya merupakan pelanggaran administrasi yang dilakukan diwilayah perairan Indonesia diajukan kemuka sidang Pengadilan.
5) Pemberantasan Imigran Gelap (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian) adanya ketentuan wajib lapor kepada oknum yang datang dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia untuk memberitahukan kedatangannya di pelabuhan-pelabuhan pendaratan yang ditunjuk, kepada Bea Cukai apabila kedatangannya yang bukan pelabuhan pendaratan. Kemudian dalam UU No. 8 Drt dan pasal 270 KUHP, menyatakan orang-orang yang menyeludup di/ke Indonesia tanpa mempunyai dokumen imigrasi yang syah, dikwalifisir sebagai tindak pidana kejahatan oleh karena itu dapat dituntut atau dihukum pidana,
6) Pencegahan Pencurian Ikan. Berdasarkan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

III. Kesimpulan dalam Penegakan Tindak Pidana Pelayaran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
1. Dalam praktek masing-masing Departemen/instansi dalam melaksanakan kegiatan pada tahap pertama secara sendiri-sendiri, sehingga terhadap suatu pelanggaran atau kejahatan ditangani oleh beberapa instansi. Hal yang demikian ini dapat menyulitkan untuk mencapai sasaran, karena masing-masing instansi bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk kepentingannya masing-masing, sehingga sasaran penegakan hukum tersebut tidak bersifat menyeluruh.
2. Secara garis besar tindak lanjut penyelesaian kasus yang telah diberkaskan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (P21/Pemberkasan dinyatakan lengkap) sering tidak dapat dilanjutkan kepada tahap penuntutan dengan berbagai alasan seperti tidak cukup bukti, saksi dan lain-lain
3. Fungsi Mahkamah Pelayaran yang tidak masuk dalam sistem peradilan umum dan kini hanya menjatuhkan sanksi terhadap kompentensi pelaut agar dapat diperluas untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana pelayaran.
4. Pada tahapan vonis oleh Hakim sering hukuman yang diberikan tidak maksimal sehingga tidak maksimal / tidak memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pelayaran
5. Faktor sarana dan prasarana, seperti kapal-kapal patroli dan persenjataan yang dimiliki masih jauh dari yang diharapkan juga faktor kualitas dan kuantitas sumber daya manusia penyidik pegawai negeri sipil yang perlu ditingkatkan

“tulisan dihimpun dari berbagai sumber”


* Penyidik Pegawai Negeri Sipil & MarineInspector pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Hubla, Mahasiswa Magister Hukum Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta