Thursday 4 June 2009

API KECIL JADI KAWAN, BESAR JADI LAWAN..

Bangkai kapal Mandiri Nusantara yang terbakar di laut lepas sudah berhasil dibawa ke Pelabuhan Gresik, Kamis (4/6/2009). Namun, hingga saat ini asap masih mengepul dari dalam badan kapal, peristiwa lainnya tujuh orang yang hendak mudik Lebaran tewas dalam kecelakaan terbakarnya Kapal Motor Usaha Baru di Ambon, Maluku, Jumat 26 September 2008, korban meninggal karena tidak bisa berenang sehingga terjebak di dalam kapal yang terus tenggelam, diduga kapal terbakar akibat hubungan pendek arus listrik di ruang mesin. Medio Juli 2008 kita diingatkan pula terjadinya kebakaran kapal LCT Anugerah Perdana I bermuatan 800 ton BBM dari Ambon ke Timika, di Pomako Distrik Mimika Timur, kapal tersebut terbakar ketika sedang menyuplai BBM ke depot Pertamina dan diduga api berasal dari mesin penyedot BBM meledak saat sedang dilakukan pengurasan,sehingga percikan api dengan cepat membakar bagian kapal dan mengakibatkan tewasnya dua warga.
Dari semua malapetaka yang dapat terjadi di laut dan pelabuhan, bahaya kebakaran selalu menjadi urutan teratas, kebakaran dikapal sangat cepat menghancurkan dan rentan terhadap hilangnya nyawa anak buah kapal, penumpang, barang maupun lingkungan, tidak terhitung juga kerugian bagi pemilik kapal, operator, pemilik barang, fasilitas pelabuhan dan lainnya
Beberapa penyebab terjadinya kebakaran dikapal, dimulai dari faktor ketidak-laikan kapal itu sendiri dimana keadaan kapal untuk berlayar di perairan tertentu diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan antara lain keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal (Pasal 1 ayat 33 Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran) apabila kita juga menilik dari salah satu saja faktor kelaik-lautan kapal, maka pemuatan di kapal merupakan faktor yang menonjol sebagai penyebab dalam berbagai kejadian kebakaran dikapal.
Adapun persyaratan muatan yang diperbolehkan untuk diangkut oleh kapal telah diatur sedemikian rupa, juga terhadap tata cara pemuatan dikapal itu sendiri. Untuk barang muatan yang berpotensi dan berdampak terhadap keselamatan dikapal, diklasifikasikan sebagai “barang berbahaya” yang diatur Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Pasal 44) yaitu “ Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan juga pada Pasal 45 ayat 2 disebutkan “Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berbentuk bahan cair, bahan padat dan bahan gas “.dimana pada pasal Pasal 45 ayat 3 Barang Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bahan/barang peledak (explosives);
b. gas-gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under pressure);
c. cairan mudah menyala/terbakar (flammable liquids);
d. bahan/barang padat mudah menyala/terbakar (flammable solids),
e. bahan/barang pengoksidasi (oxidizing substances);
f. bahan/barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);
g. bahan/barang radioaktif (radioactive material);
h. bahan/barang perusak (corrosive substances); dan
i. berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).
Sebagai peraturan pelaksananya diatur dalam KM 17 Tahun 2000 Tentang “Pedoman Penangananan Bahan/Barang Berbahaya Dalam Kegiatan Pelayaran di Indonesia” dimana dalam rangka menjamin keselamatan dalam penanganan bahan/barang berbahaya dalam kegiatan pelayaran di Indonesia, perlu memberlakukan ketentuan mengenai International Maritime Dangerous (IMDG) Code yang merupakan aturan pelaksanaan dari Konvensi on Safety of Life at Sea (SOLAS) dan Convention on Prevention of Marine Pollution from Ships (MARPOL) yang telah diratifikasi masing-masing oleh Keppres Nomor 65 Tahun 1980 dan Keppres Nomor 46 Tahun 1986
Sejatinya ketentuan ini memberlakukan IMDG Code beserta supplement sebagai pedoman penanganan bahan/barang berbahaya dalam kegiatan pelayaran yang terdiri dari Volume I (Part1,2 & 4-7) yang berisi tentang ketentuan umum,definisi, dan Training; Klasifikasi; Ketentuan tangki dan Pengemasan; Prosedur Pengiriman; Konstruksi dan uji kemasan, IBCs, kemasan besar, tangki portabel dan kendaraan tangki darat; Pelaksanaan Pengangkutan. Volume II berisi Daftar Barang Berbahaya (format tabel); Pengecualian Jumlah Terbatas; Indeks; Appendiks/Lampiran, dan Supplement yang berisi teks yang berkaitan dengan IMDG Code antara lain: EMS Guide; Pedoman PPPK, Prosedur Pelaporan; Pengemasan unit angkut kargo; Penggunaan pestisida yang aman; INF Code (BBM Nuklir yang tidak ter-radiasi); Appendiks/Lampiran.
Untuk penanggulangan kebakaran dikapal juga diatur didalam SOLAS 1974 (Safety of Life at Sea) yaitu penyelamatan jiwa di laut dalam Chapter II-2 (Construction-Fire Protection, Fire Detection and Fire Extinction) dibahas tentang usaha-usaha untuk mencegah kebakaran dengan memperhatikan tentang konstruksi pencegah kebakaran, alat deteksi kebakaran dan pemadaman kebakaran kapal itu sendiri. Adapun peraturan yang melindungi bahaya kebakaran di atas kapal dimulai dengan jenis material yang digunakan, konstruksi, sampai bagaimana mendeteksi terjadinya kebakaran dan sarana memadamkannya yang juga dimuat dalam Chapter II-2 SOLAS Convention
Adapun prinsip-prinsip dasar perlindungan terhadap bahaya kebakaran dalam SOLAS Convention Chapter II-2 adalah pembagian ruangan kapal dalam zona vertical dengan struktur pembatas beberapa bagian dengan konstruksi penahan panas dan api, pemisahan ruangan akomodasi dengan konstruksi tahan panas dan api dari ruangan kapal lainnya, membagi penggunaan material yang gampan terbakar (dengan bahan-bahan non – combustable), memasang alat mendeteksi kebakaran di lokasi yang diperkirakan akan timbul kebakaran, melokalisir dan memadamkan kebakaran di lokasi terbakar, melindungi lokasi dan jalan ke tempat menyelematkan diri dan tempat alat-alat untuk melakukan pemadamam kebakaran, menyediakan alat-alat pemadam kebakaran di tempat-tempat yang ditentukan dan siap untuk digunakan, mengurangi sekecil mungkin dan menghindari kemungkinan terjadinya kebakaran gas muatan.
Bagimana untuk jenis pencegah pemadam kebakaran yang digunakan diatas kapal tergantung dimana alat-alat tersebut digunakan , dalam Regulation 4 dipersyaratkan untuk memilih dan memasang pompa pemadam kebakaran termasuk kelengkapannya seperti pipa penyalur, hydrants dan selang pemadam kebakaran diatas kapal (every ships shall be provideed with fire pumps, fire mains, hydrants and hoses complying as applicable with the requirment of this regulation) bahwa ditegaskan dalam peraturan tersebut bahwa semua kapal harus dilengkapi dengan pompa pemadam kebakaran dengan peralatannya, kapasitas tekanan pompa dan penempatannya diatas kapal harus dapat menjangkau dan memadamkan secara efektif kebakaran yang terjadi dimanapun diatas kapal. pompa saniter, pompa bilga dan pompa air balas dapat digunakanjuga sebagai pompa pemadam kebakaran, asal tidak digunakan juga sebagai pompa transfer minyak atau bahan bakar.
Juga pada Regulation 5, mengatur pemasangan dan pemakaian bahan gas untuk memadamkan kebakaran (fixed gas extingushing system) yang disalurkan ke tempat-tempat yang berpotensi timbul kebakaran, seperti ruangan muatan, kamar mesin dan kamar pompa, karena gas yang digunakan beracun maka tidak boleh digunakan di rungan akomodasi adapun gas yang digunakan antara lain;
1. Gas CO2 (carbon dioxide sytems ) digunakan untuk kamar mesin, mesin kamar pompa dan ruangan muatan seperti muatan minyak kelemahannya adalah tidak dapat digunakan dalam kondisi terdapat manusia di sekitarnya
2. Gas halogen (halongenated hydrocarbon sytems) hanya boleh digunakan untuk ruangan muatan khusus kenderaan tanpa muatan lain, kamar mesin dan kamar pompa

Sebagai bahan pertimbangan dapat ditemuakan alternatif media pemadam api portable maupun total floading system yang aman bagi manusia (anti racun), tidak menghantarkan listrik, mampu memadamkan api hanya dalam waktu singkat (kurang dari 10 detik), tidak ada penyalaan ulang dan ramah lingkungan (AF 11 E, AF 31 dan AF 21)
Regulation 6, mengatur mengenai penyediaan dan penggunaan tabung pemadam kebakaran portable (dapat dipindah-pindahkan) yang berisi campuran cairan yang dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran diatas kapal. Adapun kapasitas tabung berisi cairan paling kurang 9 liter dan paling banyak 13,5 liter, dan harus dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran dengan cepat dan efektif dan tidak boleh beracun, alat-alat tersebut harus ditempatkan dilokasi yang diperkirakan akan timbul kebakaran dan harus diperiksa oleh yang berwajib secara periodik
Regulation 7, mengatur pemadam kebakaran di kamar mesin, dimana merupakan tempat yang sangat rawan terhadap kebakaran oleh sebab itu memerlukan perlindungan khusus terhadap bahaya kebakaran
Dalam beberapa kasus di pelabuhan untuk memudahkan kapal mendapat bantuan dari darat ketika terbakar,maka untuk kapal dengan ukuran 500 GT atau lebih harus dilengkapi dengan minimal 1 (satu) ” International shore conection” yang dapat digunakan dari kedua sisi kapal (Regulation 19) dan selanjutnya untuk semua kapal harus dilengkapi dan diperagakan secara permanen gambar rencana umum (general arangement plans) yang memuat ”fire control plan” untuk dapat digunakan awak kapal sebagai petunjuk melihat dengan jelas semua control station disetiap dek dan ruangan
Dengan bahasa yang sederhana diharapkan agar semua pihak dalam pengoperasian kapal, hendaknya dapat mengantisipasi potensi terjadinya kebakaran di kapal dengan menyiapkan alat-alat pemadam kebakaran yang memenuhi standart keselamatan jiwa maupun peralatan di kapal agar dapat menanggulangi kebakaran yang mungkin dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa dapat kita hindari.
diolah dari berbagai sumber

Tuesday 2 June 2009

Program percepatan kinerja PT.Pelabuhan Indonesia (Persero) sebuah harapan dan tantangan


Dalam terjemahan bebas Wikipedia, bahwa Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera/sungai , atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. crane dan gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan. Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang.


Kata pelabuhan laut digunakan untuk pelabuhan yang menangani kapal-kapal laut. Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang digunakan untuk berlabuhnya kapal-kapal penangkap ikan serta menjadi tempat distribusi maupun pasar ikan., dan klasifikasi pelabuhan perikanan adalah : Pelabuhan Perikanan Pantai, Pelabuhan Perikanan Nusantara, dan Pelabuhan Perikanan Samudera.


Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persilangan rute perdagangan dunia. Sehingga peran pelabuhan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas sosial dan perdagangan di wilayah ini sangat besar. Oleh karenanya pelabuhan menjadi faktor penting bagi pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian negara.


Sejak tahun 1960 pengelolaan pelabuhan di Indonesia dilaksanakan oleh pemerintah melalui Perusahaan Negara (PN) I sampai dengan VIII. Kemudian dalam perkembangannya, pada tahun 1964 aspek operasional Pelabuhan dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah yang disebut Port Authority , sedangkan aspek komersial tetap dibawah pengelolaan PN Pelabuhan I sampai dengan VIII.


Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1969, pengelolaan pelabuhan umum dilakukan oleh Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP). Pada tahun 1983, BPP diubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pelabuhan yang hanya mengelola pelabuhan umum yang diusahakan, sedangkan pengelolaan pelabuhan umum yang tidak diusahakan dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. PERUM Pelabuhan dibagi menjadi 4 wilayah operasi yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1983. Status PERUM ini kemudian dirubah lagi menjadi PT (Persero) Pelabuhan Indonesia/Pelindo I sampai IV pada tahun 1992 sampai saat ini.


Dalam tulisan ini penulis ingin menyoroti program perubahan baru manajemen PT.Pelindo (Persero) menjadi holding company, dalam program 100 hari yang akan dicanangkan, dimana terlihat keinginan PT.Pelindo (Persero) merubah dari paradigma lama sebagai badan usaha negara yang mencari laba (profit center state firm) kepada paradigma baru yang berorientasi kepada pelayanan public (become a public utility), usaha ini bak gayung bersambut dengan adanya kriteria pencapaian (profit cretieria) yang coba diturun oleh Kementrian BUMN dari 50 % menjadi hanya 15 % yang diasumsikan bukan hanya dapat meningkatkan kompetensi SDM juga diharapkan sektor pelayanan dan fasilitas pelabuhan.


Ditengah banyaknya masalah yang dihadapi PT. Pelabuhan Indonesia (PELINDO) I, II,III dan IV diantaranya adalah tingginya biaya di pelabuhan, demurrage, pelayanan yang tidak prima, fasilitas pelabuhan yang tidak layak dan krisis SDM membuat daya saing di dalam memenangkan pasar berjalan lambat, dimana kenyataan nya pelabuhan di Indonesia hanya sebagai pelabuhan pengumpan (feeder port) bagi pelabuhan Singapura, menyiratkan bahwa program 100 hari yang canangkan oleh PT.Pelindo II sangat diharapkan oleh pengguna jasa pelabuhan secara langsung maupun tidak langsung antara lain mengevaluasi permasalahan yang ada dengan cara menginvinterisasinya kesemua lini dan hanya menggunakan SDM yang siap pakai untuk meningkatkan target pencapaian bukan saja untuk sekedar laba bagi perusahaan tetapi lebih kepada produktifitas pelayanan bagi pengguna jasa.

Menurut hemat penulis usaha yang akan dilakukan didalam tubuh PT.Pelindo (Persero) harus dapat dilakukan dengan melakukan beberapa study terlebih dahulu untuk dapat menekan faktor-faktor penghambat kinerja di pelabuhan, bahkan keputusan top management yang tidak populer pun agar jangan ragu untuk diambil seperti usaha pemberian insentif atas tarif, perubahan terhadap pelayanan secara menyeluruh, mempercepat sistem bongkar muat yang nantinya diharapkan dapat diminati oleh perusahaan pelayaran asing untuk menjadikan pelabuhan di Indonesia (Tanjung Priok,Medan, Surabaya, Makasar) menjadi pelabuhan tujuan langsung (direct call ports)


Ditengah situasi krisis ekonomi belakangan ini, dan adanya pelarangan terhadap praktek monopoli diharapkan bahwa mind set PT.Pelindo (Persero) dengan manajemen yang baru, dapat memposisikan dirinya sesuai dengan jiwa dan ruh dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran sebagai operator di pelabuhan kiranya dapat segera terwujud, agar untuk dapat menyumbangkan sesuatu bagi pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh, dimana jika manajemen pelabuhan efektif maka ekonomi pun akan tumbuh, jika tidak ...maka tidak mungkin ekonomi pun dapat mandeg.


diolah dari berbagai sumber...