Monday 12 January 2009

PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS)
DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT DALAM
PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG No.17 TAHUN 2008
TENTANG PELAYARAN
Oleh :
Hot Marojahan Hutapea, SH *

I. PENDAHULUAN

1. Berdasarkan data luas wilayah Indonesia mencapai 5,9 juta Km² dengan rincian luas perairan nasional 2,8 juta Km², luas laut teritiorial 0,4 Km², 2,7 Km² luas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE) dan klaim 0,8 jta Km² luas wilayah landasan kontinen Republik Indonesia (LKRI) dengan jumlah pulau sekitar 17.506 pulau besar dan kecil (setelah dua pulau Sipadan dan Ligitan diputuskan oleh Mahkamah Internasional tahun 2002 menjadi milik Malaysia) Panjang Pantai Seluruhnya ± 81.000 km. Wilayah perairan (kedaulatan wilayah) yang dapat dimanfaatkan diperkirakan mencapai 6,7 juta Km terdiri atas 3,1 juta Km perairan Indonesia dan 3,6 juta km persegi perairan ZEE dan LKRI.
2. Pelayaran sebagai salah satu moda transportasi diselenggarakan dengan tujuan untukmemperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelayaran nasional, dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorongpencapaian tujuan pembangunan nasional, memantapkan perwujudan wawasan nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional
3. Penyidik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 6 menyatakan bahwa selain penyidik umum yaitu Polisi Negara Republik Indonesia dalam pasal 2 menyatakan bahwa Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh Undang-undang (PPNS)
II. Penegakan Tindak Pidana Pelayaran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
1. Konsep keamanan (Security) yang ada selama ini telah berkembang sejak pasca perang dingin dan berlanjut pada era globalisasi dewasa ini. Konsep ini telah diperluas tidak hanya terfokus pada hal-hal yang bersifat Militeristik, tetapi telah berkembang mengarah pada berbagai aspek seperti perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, perluasan perdagangan dan investasi, pemberantasan kejahatan internasional, atau perdagangan Barang terlarang. Dalam dunia kemaritiman, keamanan maritim juga telah meluas tidak hanya konsep pertahanan laut terhadap ancaman militer dari negara lain tetapi juga termasuk pertahanan terhadap ancaman non militer antara lain perlindungan terhadap kelestarian alam, jalur perdagangan, pemberantasan aksi ilegal di laut, dan lain. Sebaliknya, karakter maritim telah menjadi faktor yang memberikan pengaruh kuat pada aspek keamanan, strategi dan kerjasama maritim regional. Sebagai konsekuensinya, keamanan dalam dunia maritim, secara umum menjadi tanggung-jawab dari semua negara untuk menjaganya dari segala bentuk ancaman. Semakin luas wilayah perairan laut suatu negara, semakin besar pula tugas dan tanggung-jawab pemerintah dari negara tersebut.Tanggung jawab ini bukan hanya secara nasional, tetapi juga secara internasional.
2. Penegakan Hukum di bidang pelayaran mempunyai konsepsi yang pada akhirnya akan tercipta faktor-faktor Kelaik-lautan kapal dimana terdapat kondisi keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan dan kesejahteraan awak kapal, serta penumpang dan status hukum kapal untuk berlayar diperairan tertentu, sehingga peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai Undang-undang menjadi sangat penting seperti yang diamanatkan dalam kewenangan PPNS. Pada Pasal 282 Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Undang-undang No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran disebutkan (pasal 1) yaitu selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dan (ps 2) dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia.
3. Pasal 283 ayat 1 menyebutkan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran dan ayat 2 menyebutkan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang berwenang :
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
b. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, kapal atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait dengan tindak pidana pelayaran;
h. mengambil sidik jari;
i. menggeledah kapal, tempat dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
j. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
k. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang pelayaran;
m. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
n. mengadakan penghentian penyidikan; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
4. Dalam prakteknya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditjen Hubla juga berperan dalam penegakkan hukum di laut dalam kaitannya dalam tindak pidana pelayaran dan landasan hukum dalam penegakan hukum di laut, dimana landasan hukum nya adalah hukum nasional dan hukum internasional. Hukum nasional terdiri dari produk hukum peninggalan jaman Pemerintah Hindia Belanda dan hukum laut produk nasional. Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 bahwa peraturan-peraturan produk Hindia Belanda masih berlaku sepanjang belum dibuat penggantinya yang baru. Satu-satunya produk Pemerintah Hindia Belanda yang masih berlaku sampai sekarang ini adalah Ordonansi Laut Teritorial dan lingkungan Maritim Tahun 1939 (TZMKO) pada Pasal 13 Ordonansi tersebut menyatakan penyelenggaraan penegakan hukum di laut pada dasarnya dilakukan di bawah satu instansi yairu Angkatan Laut di mana KSAL adalah sebagai penanggung jawabnya. Dalam hal ini KSAL membawahi Perwira AL, Pandu-pandu laut, syahbandar, dan pegawai-pegawai yang semacam itu serta orang-orang yang ditunjuk untuk kepentingan tersebut. Sedangkan landasan hukum yang merupakan produk nasional yang berkaitan dengan bidang pelayaran yaitu :
a) Undang No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
c) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982)
d) Peraturan Bandar Tahun 1925
e) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
f) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
g) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Kapal Asing dalam perairan Indonesia.
h) Pengumuman Pemerintah RI 17 Pebruari 1969 tentang Landasan Kontinen Indonesia.
i) Surat Keputusan Men/Pangal 23 September 1961 tentang Penunjukan Pejabat-pejabat yang diberi wewenang untuk mengadakan penyidikan terhadap kejahatan di laut.
j) Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 056/D.A/7/1969 tentang Penyelesaian Perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.
k) Surat Keputusan Pangal No. 5810.3 Tahun 1969 tentang Penunjukan pejabat-pejabat dilingkungan ALRI untuk melaksanakan wewenang Pangal dalam menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.
l) Kep. Menhankam/Pangab. No. Inst/B/92/1969 tentang Pengamanan Pelabuhan di wilayah RI.
m) Keppres RI No. 16 Tahun 1971 tentang wewenang pemberian ijin berlayar bagi segala kegiatan kerderaan asing dalam wilayah Perairan Indonesia.
n) Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/17/IV/75 tentang Penetapan Alur Pelayaran Khusus bagi kapal-kapal penangkap ikan asing.
o) Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep/099/DA/12/71 tentang pendelegasian wewenang penyelesaian perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.
p) Instruksi Jaksa Agung RI No. Inst.006/DA/12/72 tentang jumlah dan cara-cara penenetapan serta Penyetoran Densa Damai.
q) Surat Keputusan Bersama antara Menhankam Pangab, Menhub, Menkeh, Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/75, SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS.B/72/1 dan Kep/085/JA/12/72 tentang pembentukan Barkorkamla.
r) Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2005 Tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla)
III. Praktek Penegakan Tindak Pidana Pelayaran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Praktek Penyelenggaraan Penegakan Hukum di Laut oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditjen Hubla mempunyai sasaran terciptanya ketertiban umum dan ketertiban hukum dan kepastian hukum di laut demi menjamin kepentingan nasional Indonesia.
A. Dalam prakteknya kegiatan-kegiatan penegakan hukum di laut dapat berupa kegiatan yaitu kegiatan-kegiatan yang langsung menanggulangi/mengenai semua tindak pidana pelayaran (tindak pidana khusus), sebagai contoh :
1) Pemeliharaan Rambu-rambu, Alat Navigasi, Pelayaran Dan Pemeliharaan Mercu Suar, Ordonansi kapal-kapal 1935 terdapat pengaturan tentang keselamatan pelayaran, antara lain tentang isyarat-isyarat, alarm darurat dan kewajiban memberi bantuan dan hak meminta bantuan serta berita-berita tentang bahaya. Kemudian Konvensi (COLREG) 1960 (Internasional Regulation for Preventing Collisions at Sea), yang mengatur hal-hal mengenai pengamatan, kecepatan yang aman, bahaya tubrukan, tindakan-tindakan untuk menghindari tubrukan, sistem mempertahankan haluan dan kecepatan serta tanggung jawab antara kapal satu sama lain,
2) Pemeriksaan Laik Laut, Ketentuan yang mengatur keselamatan kapal terdapat dalam Ordonansi 1935, Stb. 1935 antara lain memuat ketentuan-ketentuan umum dan khusus tentang badan kapal, perlengkapan, sertifikat penumpang, sertifikat keselamatan radio, perangkat telegrap radio dan sertifikat alat-alat penolong dan peralatan lainnya serta keselamatan barang. Berdasarkan Keppres RI No. 203 Tahun 1966 Konvensi SOLAS 1960 (Internasional Covention for the Safety of Life at Sea) diratifikasikan sebagai ketentuan yang berlaku di Indonesia yang memuat antara lain : pemeriksaan sertifikat-sertifikat, kecelakaan, instalasi-instalasi mesin dan listrik, pencegahan kebakaran di kapal dan di kapal penumpang dan kapal barang, keselamatan navigasi, pengangkutan barang-barang berbahaya dan kapal-kapal nuklir dan serta sertifikatnya.
3) Pemeriksaan Kecelakaan Kapal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.
B. Melakukan koordinasi-koordinasi berupa kegiatan-kegiatan penyelesaian akhir yang bersifat yuridis teknis kepada Departemen/instansi yang berwenang sesuai dengan kewenangan masing-masing, sebagi contoh :
1) Pelanggaran Wilayah. Instansi pertama yang berwenang dan betanggung jawab melakukan pengamanan wilayah laut, yang semula berdasar UU No. 2 Drt 1949 berada di tangan KASAL, kemudian berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 1974 beralih ketangan Menhankam/Pangab. Berdasarkan Skep/B/371/V/1972 Menhankam Pangab, telah menunjuk pejabat-pejabat untuk melaksanakan wewenang Menhankam/Pangab dalam menyelesaikan perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia. Selanjutnya berdasarkan keputusan bersama Menhankam/Pangab, Menhub, Menkeu dan Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/1972; SK.901/M;Kep.779/MK/XII/12/1972, Kep-085/JA/12/1972 tanggal 19 Desember 1972 dibentuk Badan Kordinasi Keamanan di laut (Bakorkamla) dan Komando Pelaksanaan Bersama Keamanan di Laut, sebagai usaha peningkatan keamanan di laut,
2) Pemberatasan Pembajakan Ketentuan yang mengatur pemberantasan pembajakan yang terjadi di laut dalam Ordonansi 1939 pasal 14 menyebutkan beberapa pasal KUHP yang mengatur mengenai kejahatan pembajakan yang terjadi di laut, yaitu pasal 438 s/d 451. Dalam pasal-pasal ini membedakan empat macam jenis pembajakan menurut tempat di mana kejahatan terjadi, yaitu pembajakan di laut, pembajakan ditepi laut, pembajakan di tepi pantai dan pembajakan di sungai. Ordonansi ini masih dalam pengertian hukum laut tradisional, oleh karena itu pengaturan dalam pasal-pasal tersebut belum dapat menampung permasalahan hukum di bidang pemberantasan penyeludupan di perairan Indonesia dengan konsepsi Nusantara menurut UU No. 4/Prp/1960. Selain itu juga ditemukan dalam UU No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958, yaitu pasal 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22, yang mengatur tentang pemberantasan pembajakan di laut lepas atau di tempat lain di luar kekuasaan hukum suatu Negara.
3) Pemberantasan Penjualan Budak Belian Dan Wanita, Ketentuan yang mengatur bidang pemberantasan penjualan budak belian di dapat dalam pasal 321, 325, 326 serta 327 KUHP. Selain itu dijumpai dalam UU No. 19 Tahun 1961, khususnya dalam Konvensi tentang Laut Lepas pasal 13 dan 22 ayat (1) yang menetapkan tiap negara akan menyetujui peraturan yang efektif untuk mencegah serta menghukum pengangkutan budak-budak.
4) Pemberantasan Penyelundupan, Ketentuan yang mengatur pemberantasan penyeludupan dalam Ordonansi 1939 dan Rechten Ordonantie (RO) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan memberikan wewenang polisionil kepada angkatan laut dan bea cukai untuk tugas-tugas pemberantasan penyeludupan penangkapan dan pemeriksaan di kapal. Kejahatan demikian dapat di hukum atau diajurkan untuk berdamai apabila perbuatan itu hanya merupakan pelanggaran saja. Berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep. 099/DA/12/1971, Jaksa Agung mendelegasikan wewenang kepada Menhankam/Pangab untuk menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana di perairan Indonesia di luar sidang pengadilan dengan syarat pembayaran sejumlah uang (denda damai) kepada negara. Kemudian dengan instruksi Menhankam/Pangab Nomor T/59/1975 untuk sementara mencabut Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep-099/DA/12/1971 tersebut di atas, bahwa semua penyelesaian perkara pelanggaran di perairan diserahkan kepada Kejaksaan untuk selanjutnya diajukan di muka sidang Pengadilan. Jadi dengan Surat Keputusan Menhankam tersebut, dalam setiap penyeludupan baik merupakan suatu kejahatan maupun hanya merupakan pelanggaran administrasi yang dilakukan diwilayah perairan Indonesia diajukan kemuka sidang Pengadilan.
5) Pemberantasan Imigran Gelap (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian) adanya ketentuan wajib lapor kepada oknum yang datang dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia untuk memberitahukan kedatangannya di pelabuhan-pelabuhan pendaratan yang ditunjuk, kepada Bea Cukai apabila kedatangannya yang bukan pelabuhan pendaratan. Kemudian dalam UU No. 8 Drt dan pasal 270 KUHP, menyatakan orang-orang yang menyeludup di/ke Indonesia tanpa mempunyai dokumen imigrasi yang syah, dikwalifisir sebagai tindak pidana kejahatan oleh karena itu dapat dituntut atau dihukum pidana,
6) Pencegahan Pencurian Ikan. Berdasarkan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

III. Kesimpulan dalam Penegakan Tindak Pidana Pelayaran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
1. Dalam praktek masing-masing Departemen/instansi dalam melaksanakan kegiatan pada tahap pertama secara sendiri-sendiri, sehingga terhadap suatu pelanggaran atau kejahatan ditangani oleh beberapa instansi. Hal yang demikian ini dapat menyulitkan untuk mencapai sasaran, karena masing-masing instansi bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk kepentingannya masing-masing, sehingga sasaran penegakan hukum tersebut tidak bersifat menyeluruh.
2. Secara garis besar tindak lanjut penyelesaian kasus yang telah diberkaskan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (P21/Pemberkasan dinyatakan lengkap) sering tidak dapat dilanjutkan kepada tahap penuntutan dengan berbagai alasan seperti tidak cukup bukti, saksi dan lain-lain
3. Fungsi Mahkamah Pelayaran yang tidak masuk dalam sistem peradilan umum dan kini hanya menjatuhkan sanksi terhadap kompentensi pelaut agar dapat diperluas untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana pelayaran.
4. Pada tahapan vonis oleh Hakim sering hukuman yang diberikan tidak maksimal sehingga tidak maksimal / tidak memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pelayaran
5. Faktor sarana dan prasarana, seperti kapal-kapal patroli dan persenjataan yang dimiliki masih jauh dari yang diharapkan juga faktor kualitas dan kuantitas sumber daya manusia penyidik pegawai negeri sipil yang perlu ditingkatkan

“tulisan dihimpun dari berbagai sumber”


* Penyidik Pegawai Negeri Sipil & MarineInspector pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Hubla, Mahasiswa Magister Hukum Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta














No comments: